Abu Nawas merupakan tokoh yang hidup di masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid. Abu Nawas dikenal dengan karakternya yang cerdik dan penuh jenaka. Kisah Abu Nawas banyak memberikan makna dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kisah lucu jenakanya juga mampu membuat siapapun yang membacanya terhibur.
Abu Nawas merupakan tokoh populer
dalam khazanah cerita Timur Tengah. Karya paling terkenalnya adalah syair Al
I'tirof. Selain itu, kesan lucu melekat pada dirinya. Berikut ini salah satu
kisahnya berjudul 'Abu Nawas Menolak jadi Pejabat'.
Alkisah, suatu hari ayah Abu
Nawas mengalami sakit yang sangat berat. Raja khawatir, jika ayah Abu Nawas
meninggal, maka tidak ada yang bisa menggantikan posisinya sebagai qadhi
(pengadil). Dan, kekhawatiran raja akhirnya memang terjadi. Ayah Abu Nawas
meninggal dunia.
Raja tidak punya banyak pilihan
untuk mencari pengganti ayah Abu Nawas. Ia berpendapat: Pakiban u meunan
minyeuk, pakiban ku meunan aneuk (Bagaimana kelapa demikian pula minyaknya,
bagaimana ayah maka akan begitu pula anaknya-ed). Karena itu, Raja pun kemudian
menetapkan Abu Nawas sebagai calon tunggal untuk menggantikan posisi yang
ditinggalkan ayahnya, yang semasa hidupnya menjadi qadhi yang sangat adil,
jujur, dan bijaksana.
Akhirnya raja mengutus para
prajurit untuk menjemput Abu Nawas di kediamannya untuk dihadapkan kepada raja.
Tentu saja untuk dimintai kesediaan Abu Nawas menggantikan ayahnya. Sesampai di
istana, ternyata Abu Nawas sudah tidak seperti dulu lagi. Abu Nawas sudah gila.
Melihat kenyataan Abu Nawas yang
sudah gila, akhirnya raja membatalkan untuk menyerahkan jabatan qadhi
kepadanya. Timbul pertanyaan, apakah benar Abu Nawas gila karena ditinggal
ayahnya? Tentu tidak. Semasa masih hidup, ayahnya berpesan, janganlah jadi
pemimpin. Karena itulah Abu Nawas berpura-pura gila.
Terkait masalah ini Rasulullah
SAW pernah bersabda: “Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan suatu jabatan
kepada orang yang meminta untuk diangkat dan tidak pula kepada orang yang
berharap-harap untuk diangkat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dulu, di zaman sahabat, mereka
saling bertolak-tolakan menjadi pemimpin. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, Abu
Bakar Siddiq yang diminta menggantikan Rasululllah sebagai khalifah, malah
mengusulkuan Umar, dengan alasan Umar adalah seorang yang kuat. Tetapi Umar
menolak, sebaliknya malah mengusulkan Abu Bakar. Para sahabat memandang jabatan
adalah momok yang sangat menakutkan. Mereka berusaha menghindarinya, tentu
sebatas kewajaran dan masih mungkin dihindari.
Kenyataan hari ini, orang-orang
berlomba-lomba menjadi pemimpin. Dengan dalih, karena panggilan hati, atau
karena diminta oleh rakyat. Entah rakyat mana yang memintanya untuk menjadi
pemimpin. Inilah basa-basi klasik untuk mengelabui siapa saja, bahwa
keinginannya untuk menjadi pemimpin bukan karena ambisi.
Jika ditelaah lebih dalam, penolakan para sahabat didasari atas hadist Rasulullah tentang betapa beratnya menjadi pemimpin. “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya.” Didalam hadis yang lain, sebagaimana disampaikan oleh abu hurairah, “kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung.” (HR Bukhari).
Demikian cerita Abu Nawas, Semoga terhibur, Bersambung
Post a Comment for "Abu Nawas Menolak jadi Pejabat"