Abu Nawas merupakan tokoh yang hidup di masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid. Abu Nawas dikenal dengan karakternya yang cerdik dan penuh jenaka. Kisah Abu Nawas banyak memberikan makna dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kisah lucu jenakanya juga mampu membuat siapapun yang membacanya terhibur.
Suatu kisah, ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam di dalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam. “Siapakah yang berani berendam satu malam di kolamku, aku akan berikan hadiah Sepuluh Ringgit” kata saudagar itu menyebar sayembara.
Ajakan tersebut mengundang banyak
orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya
mampu sampai sepertiga malam. Pada suatu hari datang seorang pengemis
kepadanya. “Wahai Pengemis, Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini semalam?
Jika kamu tahan aku akan berikan hadiah sepuluh ringgit,” kata si saudagar.
“Baiklah akan kucoba,” jawab si
pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam,
memang air kolam itu dingin sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian.
“Kalau begitu nanti malam kamu
bisa berendam di situ,” kata si saudagar.
Menanti datangnya malam si
pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam
di kolam itu.
“Istriku,” kata si pengemis
sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila aku berendam semalam di kolam
saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju aku akan
mencobanya".
"Setuju,” jawab si istri
mengiyakan. “Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu.”
Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kamu boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar. “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”
Setelah sampai waktunya masuklah
si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak
tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit,
ditahannya maksud itu sekuat tenaga.
Ia kemudian berdoa kepada Tuhan
agar airnya tidak terlalu dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak
merasa kedinginan lagi.
Kira-kira jam dua pagi anaknya
datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya
sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api
di tepi kolam dan menunggu sampai pagi. Siang harinya pengemis itu bangkit dari
kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu
menolak membayar. “Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi
kolam, kamu pasti tidak kedinginan."
Si pengemis tidak mau kalah.
“Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan
berendam di air, mana bisa api bisa masuk ke dalam air?”
“Aku tetap tidak mau membayar
upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau
berkelahi denganku, aku tunggu.”
Dengan perasaan kesal pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi,” ucapnya dengan hati kesal.
Ia kemudian mengadukan penipuan
itu kepada seorang hakim. Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar.
Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun
ia tetap disalahkan juga.
Ia pun berjalan mengikuti langkah
kakinya dengan perasaan yang semakin lemah. Di tengah kegalauannya itu ia
bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan. “Hai, hamba Allah,” tegur Abu Nawas,
ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “Mengapa anda kelihatan murung
sekali? Padahal udara sedemikian cerah?"
"Memang benar hamba sedang
dirundung malang,” jawab si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa
dirinya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu
Nawas ringan, begitu mendengar cerita si pengemis. “Insyaallah aku dapat
membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah
caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.”
"Terima kasih banyak, anda
bersedia menolongku,” kata si pengemis dengan mata bersinar. Lantas keduanya
berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan
di Istana.
“Apa kabar, hai Abu Nawas?” tanya Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa
gerangan hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah
Alam,” jawab Abu Nawas. “Jika tidak keberatan silahkan baginda datang
kerumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke
rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi,
tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti
datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya Senin depan.
Singkat cerita hari Senin pun
tiba. Sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang
diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya
telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan
masing-masing.
Setelah semuanya terkumpul, Abu
Nawas mohon kepada sultan untuk pergi ke belakang rumah, ia kemudian
menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon dan menaruhnya di
atas api.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas
tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas. “Ke mana
gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” Gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan didengar
oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi tuanku Syah Alam.”
Baginda pun bersabar, dan duduk
kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas
tak juga muncul di hadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah
keroncongan.
“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan
masakanmu itu? Aku sudah lapar," kata Baginda tak sabar.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.
Baginda mencoba bersabar. Ia
kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga
ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas di
bagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya.
Mereka mau tahu apa sesungguhnya
yang dikerjakan tuan rumah. Ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di
tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu
membuat api di bawah pohon seperti itu?" tanya baginda Sultan.
Abu Nawas pun bangkit, demi
mendengar pertanyaan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi,
sebentar lagi juga masak,” jawabnya.
“Menanak nasi?” tanya baginda.
“Mana periuknya?”
“Ada, tuanku,” jawab Abu nawas
sambil mengangkat mukanya ke atas.“
"Ada?” tanya beginda
keheranan. “Mana?” ia mendongakkan wajahnya ke atas mengikuti telunjuk Abu
Nawas. Tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah.
“Hai, Abu Nawas, sudah gilakah
kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon,
apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi
nasi.”
“Begini, Baginda,” Abu Nawas
berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan
seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat
dingin dan akan diupah jika mampu bertahan satu malam. Si
pengemis setuju karena mengharap upah dan berhasil melaksanakan
janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis
membuat api di pinggir kolam.”
Lalu semuanya diceritakan kepada
Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap
si saudagar.“Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini.”
“Boro-boro nasi itu akan matang,”
sergah Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.”
“Demikian pula halnya si
pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya membuat api di
tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis
tidak berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi
hangat.”
Seketika wajah Saudagar itu wajahnya jadi pucat.
Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu,
karena memang demikian halnya.
“Sekarang aku ambil keputusan
begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham
dan dihukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin.
Hakim dan orang-orang pembesar dihukum empat hari karena berbuat tidak adil dan
menyalahkan orang yang benar.”
Saat itu juga si pengemis
memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan
dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya.
Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga. Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan.
Post a Comment for " Cara Abu Nawas Memperjuangkan Keadilan bagi Si Miskin"